LAPORAN
PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN
DENGAN TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)
Ruang 13 Rumah Sakit
dr. Saiful Anwar Malang
Disusun
Oleh :
Slamet Khoiron
NIM.1301200010
DEPARTEMEN
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKNIK
KESEHATAN KEMENKES MALANG
PRODI
DIII KEPERAWATAN LAWANG
2015
LAPORAN
PENDAHULUAN
TRAUMA
WAJAH (MAKSILOFASIAL)
1. Definisi Trauma Maksilofasial
Fraktur
maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi
menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan
sepertiga bawah wajah. Bagian yang
termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima
orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus,
nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah
sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial
dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan
lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan
yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri
dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila,
tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan
lunak adalah:
-
Abrasi kulit, tusukan, laserasi,
tato
-
Cedera saraf, cedera saraf fasial
-
Cedera kelenjar paratiroid atau
duktus Stensen
-
Cedera kelopak mata
-
Cedera telinga
-
Cedera hidung
2. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat
cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun
kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar cranium sudah mencapai 90%
cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara
baik dalam membentuk wajah manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3
bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang
melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface
dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang
atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang
hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit
terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih
rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil
dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung
(cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
a.
Bagian hidung terdiri atas :
Os
Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut
mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan
Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan
bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan
dari tulang tapis yang tegak.
b.
Bagian rahang terdiri atas
tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris
(tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang
kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari
dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan
dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat
melekatnya otot.
3. Facial danger zones (Zona bahaya
wajah)
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut
saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di
sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan
trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut
dengan facial danger zone.
4. Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma
maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah
RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2
tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma
27,64 % dan fraktur nasal 12, 66
%. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki
usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di
tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai
berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan
sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.
5. Etiologi Trauma Maksilofasial
Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan
oleh perkelahian, diikuti oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan
industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling umum patah selama
serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering adalah
akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan
rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering
melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk
pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma
penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi
masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat
mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas (automobile).
Berikut ini tabel etiologi trauma
maksilofasial :
Penyebab pada orang dewasa
|
Persentase (%)
|
Kecelakaan lalu lintas
|
40-45
|
Penganiayaan / berkelahi
|
10-15
|
Olahraga
|
5-10
|
Jatuh
|
5
|
Lain-lain
|
5-10
|
|
6.
Klasifikasi Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah.
Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan
kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
a.
Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi,
diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah
dapat diklasifikasikan berdasarkan :
ü Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
- Ekskoriasi
- Luka sayat, luka robek , luka bacok
- Luka bakar
- Luka tembak
ü Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
- Dikaitkan dengan unit estetik
b. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan
keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak
ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma
pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
ü Dibedakan
berdasarkan lokasi anatomic dan estetika
-
Berdiri Sendiri : fraktur
frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus
-
Bersifat Multiple : Fraktur
kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks mandibular
ü Berdasarkan Tipe fraktur :
-
Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear
yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang
tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada
anak dan jarang terjadi.
-
Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau
berhubungan dengan jaringan lunak. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang
mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran
periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas
dengan sobekan pada kulit.
-
Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula
dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian
bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga
seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
ü Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit
penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan
penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
- Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial
a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah :
ü Simple atau Closed :
merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik melewati
kulit, mukosa, maupun membran periodontal.
ü Compound atau Open :
merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit, mukosa, maupun
membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang.
ü Comminuted : merupakan
fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
ü Greenstick : merupakan
fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya melengkung.
Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
ü Pathologic : merupakan
fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang dikarenakan adanya
penyakit tulang.
ü Multiple : sebuah
variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak
berhubungan satu sama lain.
ü Impacted : merupakan
fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.
ü Atrophic : merupakan
fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang, biasanya pada
tulang mandibula orang tua.
ü Indirect : merupakan
titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
ü Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan
jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.
Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi
anatominya:
ü Midline : fraktur
diantara incisal sentral
ü Parasymphyseal : dari
bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang berbatasan dengan
otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3)
ü Symphysis :
berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus
ü Angle : area
segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan
poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3)
ü Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga
membentuk dua garis apikal pada sigmoid notch
ü Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus
ü Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula
hingga regio ramus
ü Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar
tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang
nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah
: bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya
ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila
orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio
ini sangat rentan terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan
klasifikasi Le Fort :
ü Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling
sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum
durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang
disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan
terjadi akibat dari adanya edema.
ü Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur
piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital,
disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign.
Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat
terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema.
Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada
fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area
infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan
epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini.
Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)
ü
Fraktur Le Fort
III
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le
Fort III (gambar 2.6) menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang
terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas
tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan
serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.
Fraktur Le Fort
III (Fonseca, 2005)
c. Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis,
regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis
umumnya bersifat depressedke dalam atau hanya mempunyai garis
fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
- Patofisiologi Trauma Maksilofasial
Kehadiran
energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan
kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan
kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan
didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini
berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi
supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan
kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua
yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari
pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal
sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat
disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran
orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan
merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris
adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah
hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan
kekuatan trauma dari
hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial,
aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat
mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs):
ini menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan
memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan
zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur
biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera
mata serentak yang umum.
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan
leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari
lokasi trauma langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau
dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas
atau rahang bawah
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan
wajah yang lebih rendah
- Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat
berupa :
ü Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi
terutama pada fraktur mandibular
ü Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
ü Rasa nyeri pada sisi fraktur
ü Perdarahan pada daerah fraktur yang
dapat menyumbat saluran napas
ü Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat
menentukan lokasi daerah fraktur
ü Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat
pergeseran
ü Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan
daerah sekitar fraktur
ü Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat
pembengkakan
ü Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur
terjadi dibawah nervus alveolaris
ü Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau
ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus
- Pemeriksaan Penunjang
a.
Wajah Bagian Atas :
-
CT-scan 3D dan
CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
-
CT-scan aksial koronal
-
Imaging Alternatif diantaranya
termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
b.
Wajah Bagian Tengah :
-
CT-scan 3D dan
CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
-
CT scan aksial
koronal
-
Imaging Alternatif diantaranya
termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwells),
Submentovertek (Jughandles)
c.
Wajah Bagian Bawah :
-
CT-scan 3D dan
CBCT-scan 3D
-
Panoramic X-ray
-
Imaging Alternatif diagnostik
mencakup posisi:
Posteroanterior (Caldwells)
Posisi lateral (Schedell)
Posisi towne
- Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma
pada cedera kepala dan wajah selain dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway,
breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability,
exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi
iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol
kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri.
Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk
menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme
intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin
dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent
iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang
koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC
dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi
:
ü Bedrest total
ü Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
ü Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai
pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
ü Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk
mengurangi vasodilatasi.
ü Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu
manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
ü Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin)
atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
ü Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikan makanan lunak.
ü Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan
elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan.
Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam
ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan
melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein tergantung dari
nilai urenitrogennya.
- Komplikasi
-
Perdarahan ulang
-
Kebocoran cairan otak
-
Infeksi pada luka atau sepsis
-
Timbulnya edema serebri
-
Timbulnya edema pulmonum neurogenik,
akibat peninggian TIK
-
Nyeri kepala setelah penderita sadar
-
Konvulsi
- Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan
keparahan cedera dan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ
vital
-
Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa
lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara
berjalan tidak tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi,
kehilangan tonus otot.
-
Sirkulasi
Gejala :
Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
-
Integritas ego
Gejala :
Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah
tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
-
Eliminasi
Gejala :
Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
-
Makanan/cairan
Gejala :
mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
-
Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan
seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan
pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman
lemah tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
-
Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda
biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri,
nyeri yang hebat,merintih
-
Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor,
tersedak,ronkhi,mengi
-
Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
-
Kulit : laserasi,abrasi,perubahan
warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran cairan dari telinga atau
hidung
-
Gangguan kognitif
-
Gangguan rentang gerak
-
Demam
Diagnosa
Keperawatan
-
Risiko tinggi peningkatan tekanan
intracranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks
serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma.
-
Ketidakefektifan pola pernapasan
yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan
oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi
udara/cairan.
-
Tidak efektif kebersihan jalan napas
yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret,
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan
pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
-
Perubahan kenyamanan: nyeri akut
yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
-
Perubahan perfusi serebral
berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral
; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Rencana Keperawatan
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan
TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks
serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural
hematoma, dan epidural hematoma.
|
|
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam
tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak
gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5,
6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari
situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan
kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
|
Deteksi dini untuk memprioritaskan
intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk
menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
|
Monitor tanda-tanda vital tiap 4
jam
|
Suatu keadaan normal bila
sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan
tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi,
disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
|
Evaluasi pupil, amati ukuran,
ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya.
|
Reaksi pupil dan pergerakan
kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang
otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang
menunjukkan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap
cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
|
Monitor temperatur dan pengaturan
suhu lingkungan.
|
Panas merupakan refleks dari
hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism
dan O2 akan menunjang peningkatan TIK/ ICP (Intracranial
Pressure).
|
Pertahankan kepala/ leher pada
posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal
yang tinggi pada kepala.
|
Perubahan kepala pada satu sisi
dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah
otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan
TIK
|
Berikan periode istirahat antara
tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
|
Tindakan yang terus-menerus dapat
meningkatkan TIK oleh efek rangsangan kumulatif.
|
Kurangi rangsangan ekstra dan
berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang. Sentuhan
yang ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak gaduh.
|
Memberikan suasana yang tenang (colming
effect) dapat mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat
untuk mempertahankan TIK yang rendah.
|
Cegah/hindarkan terjadinya valsava
maneuver
|
Mengurangi tekanan intratorakal
dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.
|
Bantu klien jika batuk, muntah
|
Aktivitas ini dapat meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan tekanan dalam abdomen dimana
aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan TIK.
|
Kaji peningkatan istirahat dan
tingkat laku.
|
Tingkah nonverbal ini dapat
merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien
tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan TIK.
|
Palpasi pada pembesaran/pelebaran
bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika di gunakan dan juga
monitor terdapatnya konstipasi.
|
Dapat meningkatkan repons otomatis
yang potensial menaikkan TIK.
|
Berikan penjelasan pada klien
(jika sadar) dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningkat.
|
Meningkatkan kerja sama dalam
meningakatkan perawatan klien dan mengurangi kecemasan.
|
Observasi tingkat kesadaran dengan
GCS.
|
Perubahan kesadaran menunjukkan
peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
|
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai
indikasi.
|
Mengurangi hipoksemia, dimana
dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK.
|
Kolaborasi untuk tindakan operatif
evakuasi darah dari dalam intracranial.
|
Tindakan pembedahan untuk evakuasi
darah dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-tanda deficit neurologis yang
menandakan peningkatan ntrakranial.
|
Berikan cairan intravena sesuai
indikasi.
|
Pemberian cairan mungkin di
inginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh
darah, tekanan darah dan TIK.
|
Berikan obat osmosis diuretic
contohnya : manitol, furoscide.
|
Diuretic mungkin digunakan pada
fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral
dan TIK.
|
Berikan steroid contohnya :
dexamethason, methyl prenidsolon.
|
Untuk menurunkan inflamasi
(radang) dan mengurangi edema jaringan.
|
Berikan analgesic narkotik contoh
: kodein.
|
Mungkin di indikasikan untuk
mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi dapat digunakan
dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
|
Berikan antipiretik contohnya :
asetaminofen.
|
Mengurangi/mengontrol hari dan
pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.
|
Monitor hasil laboratorium sesuai
dengan indikasi seperti prothrombin, LED.
|
Membantu memberikan informasi
tentang efektifitas pemberian obat.
|
DX 2 : Ketidakefektifnya pola
pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan
otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam
setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan
frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas
pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Berikan posisi yang nyaman,
biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit.
Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
|
Meningkatkan inspirasi maksimal,
meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
|
Observasi fungsi pernapasan,
dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
|
Distress pernapasan dan perubahan
pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau
dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
|
Jelaskan pada klien bahwa tindakan
tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
|
Pengetahuan apa yang diharapkan
dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
|
Jelaskan pada klien tentang
etiologi/factor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
|
Pengetahuan apa yang diharapkan
dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.
|
Pertahankan perilaku tenang, bantu
klien untuk control diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan
dalam.
Periksalah alarm pada ventilator
sebelum difungsikan. Jangan mematikan alarm.
|
Membantu klien mengalami efek
fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
Ventilator yang memiliki alarm
yang bias dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/rendahnya
tekanan oksigen.
|
Tarulah kantung resusitasi
disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat
digunakan.
|
Kantung resusitasi/manual
ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi
gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
|
Bantulah klien untuk mengontrol
pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti.
|
Melatih klien untuk mengatur napas
seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik
relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.
|
Perhatikan letak dan fungsi
ventilator secara rutin.
Pengecekan konsentrasi oksigen,
memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis
batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
periksa fungsi spirometer.
|
Memerhatikan letak dan fungsi
ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit
primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
|
Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain :
Dengan dokter, radiologi, dan
fisioterapi.
§ Pemberian
antibiotik.
§ Pemberian
analgesic.
§ Fisioterapi
dada.
§ Konsul
foto thoraks.
|
Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain untuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
|
DX 3 : Tidak efektif bersihan
jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea,
peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder
akibat nyeri dan keletihan.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam
terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas
terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan,
menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji keadaan jalan napas
|
Obstruksi mungkin dapat disebabkan
oleh akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau
posisi dari endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
|
Evaluasi pergerakan dada dan
auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral).
|
Pergerakan dada yang simetris
dengan suara napas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi
atau wheezing.
|
Monitor letak/posisi endotracheal
tube. Beri tanda batas bibir.
Lekatkan tube secara hati-hati
dengan memakai perekat khusus.
Mohon bantuan perawat lain ketika
memasang dan mengatur posisi tube.
|
Endotracheal tube dapat saja masuk
ke dalam bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan
dan mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks.
|
Catat adanya batuk, bertambahnya
sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi,
pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi
ronkhi.
|
Selama intubasiklien mengalami
refleks batuk yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan
otot-otot pernapasan (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan untuk
batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap
lender dari jalan napas.
|
Lakukan penghisapan lender jika
diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan
kateter pengisap yang sesuai, cairan fisiologis steril.
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan
pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi).
|
Pengisapan lendir tidak selamanya
dilakukan terus-menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah
bahaya hipoksia.
Diameter kateter pengisap tidak
boleh lebih dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk mencegah
hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi
melalui pemberian oksigen 100% dapat mencegah terjadinya atelektasis dan
mengurangi terjadinya hipoksia.
|
Anjurkan klien mengenai tekhik
batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin
jika ada indikasi.
|
Batuk yang efektif dapat
mengeluarkan sekret dari saluran napas.
|
Atur/ubah posisi klien secara
teratur (tiap 2jam).
|
Mengatur pengeluaran sekret dan
ventilasi segmen paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
|
Berikan minum hangat jika keadaan
memungkinkan.
|
Membantu pengenceran sekret,
mempermudah pengeluaran sekret.
|
Jelaskan kepada klien tentang
kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
|
Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
|
Ajarkan klien tentang metode yang
tepat untuk pengontrolan batuk.
|
Batuk yang tidak terkontrol adalah
melelahkan dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
|
Napas dalam dan perlahan saat
duduk setegak mungkin.
|
Memungkinkan ekspansi paru lebih
luas.
|
Lakukan pernapasan diafragma.
|
Pernapasan diafragma menurunkan
frekuensi napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
|
Tahap napas selama 3-5 detik
kemudian secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
|
Meningkatkan volume udara dalam
paru, mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
|
Lakukan napas kedua, tahan, dan
batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
|
Pengkajian ini membantu
mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
|
Auskultasi paru sebelum dan
sesudah klien batuk.
|
Sekresi kental sulit untuk di
encerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada
atelektasis.
|
Ajarkan klien tindakan untuk
menurunkan viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi yang adekuat;
meningkatkan masukan cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.
|
Untuk menghindari pengentalan dari
sekret atau mosa pada saluran napas pada bagian atas.
|
Dorong atau berikan perawatan
mulut yang baik setelah batuk.
|
Higine mulut yang baik
meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
|
Kolaborasi dengan dokter,
radiologi, dan fisioterapi.
§ Pemberian
ekspektoran.
§ Pemberian
antibiotic.
§ Fisioterapi
dada.
§ Konsul
foto thoraks
|
Ekspektoran untuk memudahkan
mengeluarkan lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
pengembangan parunya.
|
Lakukan fisioterapi dada sesuai
indikasi seperti postural drainage, perkusi/penepukan.
|
Mengatur ventilasi segmen
paru-paru dan pengeluaran sekret.
|
Berikan obat-obat bronchodilator
sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupent),
adoetharine hydrochloride (bronkosol).
|
Mengatur ventilasi dan melepaskan
sekret karena relaksasi muscle/bronchospasme.
|
DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan
dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam
nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif
melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi
aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non-invasif.
|
Pendekatan dengan menggunakan
relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
|
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan
ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga
tingkatkan relaksasi masase.
|
Akan melansarkan peredaran darah
sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan
mengurangi nyerinya.
|
Ajarkan metode distraksi selama
nyeri akut.
|
Mengalihkan perhatian nyerinya ke
hal-hal yang menyenangkan.
|
Berikan kesempatan waktu istirahat
bala terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur,
belakangnya dipasang bantal kecil.
|
Istirahat akan merelaksasikan
semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
|
Tingkatkan pengetahuan tentang
penyebab nyeri dan respons motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat
analgesic untuk mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1-2 hari.
|
Pengkajian yang optimal akan
memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi
dan melakukan intervensi yang tepat.
|
Kolaborasi dengan dokter,
pemberian analgetik.
|
Analgetik memblok lintasan nyeri,
sehingga nyeri akan berkurang.
|
DX 5 : Perubahan perfusi
serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma),
edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam
fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan
/distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan
tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensorik,
mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan
TIK,
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji ulang tanda-tanda vital
klien dan status relirologis klien
|
Mengkaji adanya kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.
|
Monitor tekanan darah, catat
adanya hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin berat,
obs, ht, pada klien yang mengalami trauma multiple.
|
Peningkatan tekanan darah sistemik
yang diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungan dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang berhubungan dengan trauma multiples) dapat mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral. |
Monitor Heart Rate, catat adanya
bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
|
Perubahan pada ritme (paling
sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya. |
Monitor pernafasan meliputi pola
dan ritme, seperti periode apnea setelah hiperventilasi
(pernafasan cheyne – stokes). |
Nafas tidak teratur menunjukkan
adanya gangguan
serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan nafas buatan. |
Kaji perubahan pada penglihatan (
penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit
dan kedalaman persepsi. |
Gangguan penglihatan dapat
diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak,
merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi |
Pertahankan kepala / leher pada
posisi tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan handuk kecil /
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala |
Kepala yang miring pada salah satu
sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah lain yang selanjutnya
akan
meningkat TIK.
|
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien
15 –
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. |
Meningkatkan aliran balik vena
dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK. |
Kolaborasi pemberian O2 tambahan
sesuai
indikasi
|
Menurunkan hipoksemia yang mana
dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang meningkatkan TIK.
|
Kolaborasi pemberian obat sesuai
indikasi :
- Diuretik
- Steroid
- Analgetik sedang
- Sedatif
|
-
Untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak TIK.
-
Menurunkan inflasi, yang
selanjutnya menurunkan edema jaringan.
-
Menghilangkan nyeri dan dapat
berakibat Θ pada TIK tetapi harus digunakan dengan hasil untuk
mencegah gangguan
pernafasan.
-
Untuk mengendalikan kegelisahan
agitas
|
DAFTAR
PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. Brenda
G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph,
Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan
dengan Rencana Asuhan. Jakarta:EGC
PATHWAY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar